Senin, 21 Oktober 2013

CURRICULUM VITAE OF IBLIS

NAMA : Iblis ( QS.Al-Kahfi )

GELAR : Laknatullahi'alaih ( QS. Hijr : 34-35 )

LAHIR : Sebelum Adam 'alaihi sallam diciptakan ( QS. Hijr :27 )

KANTOR : Toilet,rumah yang tidak disebut nama Allah dan rumah yang di dalamnya terdapat patung makhluk hidup dan gambar makhluk hidup. (Shahih Abu Dawud no 6, Shahih Muslim no 1940,1364 )

ALAMAT TETAP : Neraka Jahannam ( QS.Al-Isra' :62-63 ; QS.Al-An'am :128 )

SINGGASANA : Diatas air (lautan ) ( Shahih Muslim no 2409 )

AGAMA : Kafir (QS. 2:34 ; QS. 72 :11-14)

JABATAN : Panglima tinggi kekufuran dan kesyirikan (QS. 14: 22 ; QS.59: 16 )

MASA JABATAN : Sejak menolak bersujud kepada Nabi Adam 'alaihi sallam sampai hari kiamat (QS. 15 : 32-38 )

JUBIR : Dukun dan Paranormal (Shahih Muslim no 2086 )

ISTRI/ KEKASIH : Wanita yang telanjang dan pamer aurot ( Sunan At-Tirmidzi no 1173 )

CITA-CITANYA : Ingin membuat semua manusia kafir dan masuk neraka semuanya (QS. 15: 39 ; QS.59 : 16)

MISI : Memisahkan hubungan suami istri ( Shahih Muslim no 2409 )

MOTTO : Maksiat itu Indah ( QS.15:39)

HOBI : Menyesatkan manusia ( QS. 7: 16-17 )

MAKANAN FAVORIT : Tulang ( Hadist Tirmidzi no 18 )

JUMLAH ANAK DAN NAMANYA :

Ada 5, namanya ;

1, Tabr ; Dia adalah pembawa musibah yang menyebabkan manusia menampar pipi-pipi mereka, menyobek saku, dan ucapan-ucapan jahiliyyah yang keluar dari mulut mereka ketika bersedih.

2, A'war ; Dia adalah pembawa ZINA yang menyuruh manusia untuk melakukan zina dan hal-hal yang menjurus pada ketertarikan sexual, baik LAWAN JENIS MAUPUN SESAMA JENIS .

3, Miswath ; Dia adalah pembawa dusta yang mendengar sesuatu lalu dia mendatangi seseorang lalu menyampaikannya apa yang telah di dengarnya.

4, Dasim ; Tugasnya menyusup ke dalam diri seseorang,lalu orang tersebut menampakkan cela kepada keluarganya, sehingga membuat keluarganya marah-marah

5, Zaknabur ; Dia adalah penguasa pasar, baik yang tradisional maupun yang modern...seperti mall dll. ( Perangkap syaiton ( Talbis Iblis) Ibnul Jauzi hal :37 Penerbit Pustaka Al-Kautsar)

KELEBIHAN : Bisa tampil dalam wujud anjing hitam, manusia biasa ( Hadist Tirmidzi no: 1486 ; Muslim no: 1122 )

PASSWORD BAGI PENGIKUTNYA : "AKU" (kalimat kesombongan) QS.Shaad :76 )

 
Jika ada yang datang kepada anda membawa lamaran kerja dengan Curriculum Vitae di atas, apakah anda mau menerimanya sebagai karyawan anda bahkan sebagai tangan kanan anda ?

Allah subhaanahu wa ta'ala berfirman dalam QS.Faathir (35) ayat 6 : " Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan - syaitan itu HANYA MENGAJAK GOLONGANNYA SUPAYA MEREKA MENJADI PENGHUNI NERAKA YANG MENYALA-NYALA.#

Curriculum Vitae Iblis ini diadaptasi dari kitab " Wiqoyah al Insaan min al Jinn wa al Syaithon", Syaikh Wahid Abdussalam Bali.

Naudzubillahimindzalik
Semoga kita dijauhkan dari godaan syetan yang terkutuk. Aamiin

***

Senin, 18 Maret 2013

Hukumnya Mark Up APBD

Deskripsi masalah:
Sudah menjadi gejala umum bahwa proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah/ swasta yang memenangkan tender berupaya mengeruk keuntungan yang besar dengan berbagai cara yang dianggap tidak menyalahi aturan karena adanya standart penetapan harga dari pemerintah setempat.

Contoh : pembebasan tanah untuk jalan tol harga per meter persegi Rp 100.000,-. Namun dalam pelaksanaan kenyataannya di bawah standart dan bervariasi, ada yang Rp 20.000,- ; Rp 50.000,- ; 80.000,-. Hal yang demikian tadi juga berlaku dalam pembelanjaan bahan bangunan seperti besi, semen, dan lain-lain. Semuanya tadi dalam laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang dicantumkan selalu harga-harga standart tertinggi / termahal di kalangan mereka dikenal dengan mark up anggaran.

Pertanyaan :

a. Berdosakah membikin laporan pertanggungjawaban seperti itu dengan asumsi tidak melanggar aturan, karena ada standart harga yang sudah di cantumkan?

b. Tindakan (mark up anggaran) tersebut tergolong apa dalam hukum Islam? Dan apa hukumannya?

Jawaban :

a. Mark Up APBD adalah suatu perbutan dosa karena termasuk kidzib / dusta.

Maraji :

قواعد الأحكام جزء 2 ص 252 ما نصه :

ولا يتخيرون في التصرف حسب تخيرهم في حقوق انفسهم مثل ان يبيعوا درهما بدرهم او مكيلة زبيب بمثلها لقول الله تعالى (ولا تقربوا مال اليتيم الا بالتي هي احسن) وان كان هذا في حقوق اليتامى فأولى ان يثبت في حقوق عامة المسلمين فيما يتصرف فيه الأئمة من الأموال العامة لان اعتناء الشرع بالمصالح العامة أوفر وأكثر من اعتنائه بالمصالح الخاصة وكل تصرف جر فسادا او دفع صلاحا فهو منهي عنه.

إسعاد الرفيق جزء 2/76 ما نصه :

ومنها (الكذب وهو) عند اهل السنة (الاخبار) بالشيئ (بخلاف الواقع) اي على خلاف ما هو عليه سواء علم ذلك وتعمده ام لا، واما العلم والتعمد فانما هما شرطان للإثم.

إرشاد العباد ص 71 ما نصه :

(تنبيه) الكذب عند اهل السنة هو الاخبار بالشيئ على خلاف ما هو عليه سواء أعلم ذلك وتعمده ام لا، واما العلم والتعمد فانما هما شرطان للإثم.

b. Termasuk ghulul (penggelapan) dan selanjutnya mereka wajib mengembalikan serta dikenai hukuman ta’zir menurut kebijakan Imam (yang berwenang).

Maraji :

إسعاد الرفيق جزء 2 ص 98 ما نصه :

(و) منها (الغلول) من الغنيمة وهو من الكبائر قال وهو اختصاص احد الغزاة سواء الأمير وغيره بشيئ من مال الغنيمة قبل القسمة من غير ان يحضره الى الأمير ليخمسه وان قل المأخوذ الى ان قال ومثل ذلك الغلول من الاموال المشتركة بين المسلمين ومن بيت مال المسلمين ومن الزكاة ولا فرق في الغالي منها بين كونه مستحقا او لا لأن الظفر فيها ممنوع إذ لا بد فيها من النية.

بجيرمي على المنهج جزء 2 ص 442 ما نصه :

ومنه يؤخذ امتناع ما يقع كثيرا من اختيار شخص حاذق لشراء متاع فيشتريه بأقل من قيمته لحذقته او معرفته ويأخذ لنفسه تمام القيمة معللا ذلك بانه هو الذي وفره لحذقه الى ان قال فيجب رد ما بقي لمالكه لما ذكر من امكان مراجعته.

تنوير القلوب ص 392 ما نصه :

التعزير هو التأديب بنحو حبس وضرب غير مبرح كصفع ونفي وكشف رأس وتسويد وجه ونداء بذنبه وتجريد غيرالعورة من الثياب وتوبيخ بكلام. الى ان قال ولا يكون الا باجتهاد الامام فيجتهد الامام فيه جنسا وقدرا وجمعا وافرادا.

الاشباه والنظائر للسيوطي ص 273 ما نصه :

باب التعزير. قاعدة من اتى معصية لا حد فيها ولا كفارة عزر او فيها احدهما فلا

Diambil dari: solusinahdliyin.net

Hukum Menabuh Rebana/Hadhrah/Terbangan

Musik adalah suatu hal yang sudah menjadi konsumsi kita sehari-hari, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kebutuhan primer. Muncul beragam pertanyaan-pertanyaan dalam fikiran kita tentang status hukum Musik dalam Islam. Semisal:

“Bagaimanakah hukumnya dengerin musik? Sebenernya Musik Islami itu yang bagaimana sih, apakah yang tidak memakai instrumen-instrumen musik seperti gitar dll.? Kalau menurut Islam bagaimana, bolehkan kita menyanyi atau mendengarkan musik?”

Berikut adalah jawaban KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dari pertanyaan-pertanyaan di atas:

“Masalah nyanyian atau musik dan mendengarkannya merupakan masalah yang sejak lama diperdebatkan. Ada yang mutlak mengharamkannya, ada yang mutlak memperbolehkannya, ada yang merinci dari segi kondisi yang menyertainya; haram dalam kondisi tertentu dan boleh dengan syarat-syarat tertentu.

Imam Ghazali dalam kitab “al-Ihyaa’”nya secara panjang lebar membahas masalah ini dengan mengetengahkan argumen-argumen pihak yang mengharamkan dan pihak yang memperbolehkan.

Ahli hadits, Imam al-Hafidz Abul Fadhal Muhammad bin Thahir al-Muqaddasi bahkan menyusun kitab khusus dimana secara terperinci beliau mengupas persoalan sekitar nyanyian, musik dan alat-alat musik; memainkannya maupun mendengarkannya. Al-Muqaddasi dalam pembahasannya itu, menyampaikan argumentasinya dan seklaigus mematahkan argumen-argumen pihak yang mengharamkan terutama dari sudut ilmu hadits.

Pihak yang mengharamkan nyanyian dan mendengarkannya, umumnya mendasarkan hujjahnya pada ayat-ayat yang mengecam:

1. Al-Laghwu: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. al-Mukminun ayat 3).

2. Al-Lahwu: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS Luqman ayat 6).

3. Az-Zuur: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu (oang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. al-Furqan ayat 72).

“Al-Laghwu”, “al-Lahwu” dan “az-Zuur” oleh sementara mufassir ditafsirkan “al-Ghina” atau nyanyian/musik. Termasuk lafal-lafal lain seperti dalam QS. al-Isra’ ayat 64 yang ditafsirkan demikian. Juga mendasarkan pada beberapa hadits Nabi, ucapan-ucapan sahabat dan fatwa-fatwa ulama yang mencela al-Ghinaa. Menurut pihak ini, nyanyian dapat membuat orang lupa kewajiban kepada Allah.

Sedangkan pihak yang menghalalkan atau memperbolehkan nyanyian dan mendengarkannya berpedoman pada patokan bahwa segala sesuatu itu halal sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu itu adalah Allah melalui Rasulullah Saw.

Menurut pihak ini, dalam al-Quran tidak ada larangan menyanyi atau mendengarkan nyanyian. Tafsir perorangan, kecuali dari Rasulullah Saw. adalah tafsir yang tidak dapat dijadikan dasar. Sedangkan hadits-hadits yang dikemukakan pihak yang mengharamkan pun, seperti dikatakan al-Muqaddasi, tidak memenuhi syarat untuk menjadi dasar hukum, seperti terdapat cacat dalam sanadnya.

Pihak ini juga mengetengahkan hadits-hadits untuk mendukung pendapatnya, seperti hadits Sayyidatina ‘Aisyah Ra. yang mengisahkan adanya dua gadis yang sedang menyanyi. Lalu sahabat Abu Bakar Ra. datang dan menegur: “Seruling setan di rumah Rasulullah Saw.?” Dan Rasulullah Saw. sendiri bersabda: “Ya Aba Bakrin, setiap kamu punya hari besar dan ini adalah hari besar kita.” Hadits ini dan semacamnya dianggap menunjukkan bahwa menyanyi dan mendengarkan nyanyian tidak dilarang.

Dalam kaitan ini, Imam Ghazali dalam kitabnya “al-Ihyaa’” mengatakan: “Ketahuilah bahwa ucapan pihak yang menyatakan, mendengar (nyanyian) hukumnya haram, artinya Allah akan menghukum orang yang mendengarkan (nyanyian). Dan ini merupakan hal yang tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal, tapi harus dengan sama’ (mendengar petunjuk Rasulullah Saw). Mengetahui ketentuan-ketentuan agama hanya dapat melalui nash atau qiyas (analog) terhadap hal-hal yang ada nashnya. Yang saya maksud dengan nash adalah apa yang ditunjukkan Rasulullah Saw. dengan ucapannya atau tindakannya. Sedangkan yang saya maksud dengan qiyas adalah makna yang dapat dipahami dari kata-kata dan perbuatannya. Apabila tidak ada nash dan qiyas pun tidak dapat diterapkan terhadapnya, maka pernyataan yang mengharamkannya adalah batal. Dan hal itu tetap merupakan perbuatan yang tidak apa-apa sebagaimana hal-hal lain yang diperkenankan. Seperti saya kemukakan ketika menjawab dalil pihak-pihak yang cenderung mengharamkan, tidak ada dalil nash atau qiyas yang menunjukkan dilarangnya mendengarkan (nyanyian). Sebenarnya dengan mematahkan argumen-argumen pihak yang mearang sudah cukup memadai, namun kami ingin menambahkan dengan mengatakan bahwa baik nash maupun qiyas keduanya telah menunjukkan diperbolehkannya.”

Untuk tidak bertele-tele, biar saya ringkaskan begini: “Umumnya yang mengharamkan nyanyian dan mendengarkan nyanyian itu melihat masalah dengan mengkaitkan faktor-fakotr di luar nyanyian dan mendengarkan nyanyian itu sendiri, seperti yang menyanyi biduanita dengan pakaian dan sikap yang dilarang agama, mendengarkan nyanyian sambil minum minuman keras, mendengarkannya di lingkungan maksiat, mendengarkannya hingga lupa ibadah dan dzikir dan seterusnya. Sedangkan mereka yang menghalalkan semata-mata melihat masalahnya saja.

Jadi bisa disimpulkan bahwa menyanyi atau mendengarkan nyanyian yang tidak terdapat di dalamnya faktor-faktor lain yang diharamkan agama seperti contoh yang sudah disinggung di atas, hukumnya boleh. Wallaahu A'lam.

Sejarah Shalat

oleh Muhammad Idris Mesut

Jika Anda bertanya kepada setiap pemeluk Islam tentang shalatnya; bagaimana shalat diwajibkan? Maka jawaban pada umumnya adalah “aku tidak tahu (la adri). Sungguh Allah telah mewajibkan shalat kepada kita dan cukup itu saja jawabannya”

[Dr. Jawwad ‘Ali]

Shalat secara etimologis berarti do’a, rahmat, dan istighfar. Islam telah mempersempit makna shalat sebagai kewajiban ibadah yang di dalamnya terdapat ruku’, sujud, gerakan-gerakan tertentu, dan kaidah-kaidah baku yang tak bisa dirubah semaunya. Ketentuan waktu pelaksanaan shalat juga sudah baku dan tidak bisa dirubah sesuka hati jika shalat tersebut adalah shalat wajib. Pelaksana shalat (mushali) diperintahkan membaca ayat dan hadits sebagaimana yang telah dibakukan oleh syariat dan kemudian dijaga oleh ulama periode belakangan (khalaf) dari sumber ulama pendahulu (salaf).

Nomenklatur “shalat” berasal dari bahasa Aramaic yang derivasinya dari suku kata shad lam alif “shala” yang artinya adalah ruku’ atau merunduk (inhina`). Kata shalat difungsikan untuk merepresentasikan praktek ritual keagamaan. Kata “shalat” kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi, sehingga, sejak saat itu, ia menjadi bahasa Aramaic-Ibrani (aramiyah-‘ibriyah). Kata “shalat” masuk dalam bahasa Arab melalui jalur Ahli Kitab sebelum datangnya Islam. Umat Yahudi menggunakan kata “shalutah” pada masa-masa akhir periode Taurat hingga ia menjadi kata pasaran yang memiliki makna bernuansa religi.

Di dalam kamus, “shalat-shalat Yahudi (washalawat Yahudi): sinagog-sinagog Yahudi”. Sementara dalam al-Quran, Allah berfirman,

ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد

Artinya, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid”. Ibn Abbas berkata, “’shalawat’ artinya adalah tempat ibadah Yahudi yang berasal dari bahasa Ibrani shaluta”.

Sebagian kalangan orientalis (mustasyriq) menilai kata “shalat” (shad lam ta’) dan “zakat” (za’ kaf ta’) tidak ditulis dengan bentuk seperti yang dikodifikasikan pada saat ini. Mula-mula, pada periode awal Islam, dua kata tersebut ditulis dengan dengan huruf wawu; shalât (shad lam wawu ta’) dan zakât (za’ kaf wawu ta’). Mereka berpendapat bahwa kata shalat berasal dari bahasa Aramaic “slouto” (shalutah/shaluta) dan zakat ditulis zakawât (zaka/daka) yang bermakna “menyucikan” (tadhhir).

Sebagian kalangan orientalis lainnya berasumsi bahwa kata shalat tidak dikenal sebelum Islam datang. Kata shalat masuk ke dalam bahasa Arab dari sumber al-Quran sebagai petanda bagi kewajiban-kewajiban yang dikenal oleh umat Islam. Ini adalah pendapat yang membutuhkan argumentasi, karena tidak ada satu pun orang yang mungkin mengklaim bahwa “Kita mengetahui secara mendalam bahasa, istilah-istilah, dan keyakinan Jahiliyah”. Namun andaikan saja kita mampu menguasainya, maka kita berhak menyatakan pendapat yang senada dengan asumsi orientalis tersebut. Tapi pengandaian itu tampaknya mustahil terjadi.

Semoga saja masa yang akan datang membukakan kepada kita data-data teks Jahiliyyah yang dikodifikasikan oleh tangan-tangan mereka yang mengulas persoalan-persoalan seperti ini.

Namun, jika kalangan orientalis bermaksud bahwa shalat—dalam konteks maknanya yang Islami yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui tradisi Judeo-Kristiani—sebagai kata yang tidak dikenali oleh komunitas pagan Jahiliyah, maka pendapat seperti itu benar dan tidak ada yang bisa membantah. Shalat, sebagai ritual Islam, adalah ibadah yang perintahnya turun dalam ruang lingkup Islam.

Shalat bukanlah ibadah Jahiliyah. Dengan demikian, shalat ala Islam tidak dikenal oleh komunitas Jahiliyah.

Lebih jauh lagi, shalat-shalat kaum Yahudi dan Nashrani tidaklah dikenal oleh kalangan penyembah berhala Jahiliyah, karena mereka tidak menganut agama Yahudi dan Nashrani. Namun, bagi sebagian kalangan Jahiliyah yang pernah berinteraksi dengan orang Yahudi atau Nashrani, mereka mengetahui perihal ritual shalat mereka. Hal ini berdasarkan keterangan dalam syair Jahiliyah yang mengisyaratkan adanya informasi tentang ibadahnya kaum Yahudi dan Nashrani yang mencakup gerakan ruku’, sujud, dan membaca tasbih.

Pemeluk Yahudi dan Nashrani dari Arab mengerjakan shalat di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka tahu perihal ibadah shalat dengan tata caranya yang khas. Sementara komunitas pagan tidak tahu tentang ritual shalat, sebab tidak ada data yang terkodifikasi yang menjelaskan hal itu. Tetapi, hal ini tidak lantas dapat dijadikan dalil untuk menafikan kemungkinan adanya bentuk-bentuk ritual dalam tradisi Jahiliyah.

Sebagai kaum yang melaksanakan haji pada musim-musim tertentu, memiliki syiar-syiar keagamaan yang baku, dan memiliki tata cara mendekatkan diri pada berhala-berhala, kaum pagan tak mungkin mengabaikan perkara ibadah, karena sesungguhnya ritual adalah sebuah aktivitas penyembahan yang dikenal meskipun oleh komunitas primitif sekalipun.

Dengan demikian, shalat adalah hal yang bersifat integral dengan semua doktrin agama. Tetapi saya tidak berpikir bahwa praktek ibadah mereka mempunyai bentuk yang sama, karena konsep shalat relatif berbeda-beda menurut masing-masing agama dan suku. Tata caranya pun sangat variatif. Namun, meskipun berbeda-beda, ritual-ritual tersebut tak lain adalah shalat, sebab—bagaimana pun juga—konsep tentang shalat adalah satu, namun mengambil bentuk yang beragam. Andaikan saja shalat tidak mengambil bentuk yang beragam, maka semua agama niscaya tunggal.

Di dalam al-Quran al-Karim terdapat indikasi yang menunjukkan adanya praktek shalat bagi kalangan pagan Makkah. Di dalam al-Quran disebutkan, “Doa-doa mereka di sekitar Baitullah itu, tak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan” (QS. al-Anfal: 35). Para penafsir telah menjelaskan bahwa kaum Quraisy melakukan Thawaf dalam keadaan telanjang, bersiul, dan bertepuk tangan. Frasa “shalatuhum” dalam ayat di atas artinya adalah “doa-doa mereka”; mereka bersiul dan tepuk tangan sebagai doa dan bacaan tasbih.

Menurut pendapat minoritas penafsir, ayat tersebut artinya adalah “Tidak ada shalat dan ibadah bagi mereka, kecuali hanya sekedar sebuah permainan”. Versi lain mengatakan, “Shalat kaum Jahiliyah—yang diyakini oleh mereka dapat menolak pengaruh-pengaruh buruk—tak lain hanyalah shalat dengan cara bersiual dan bertepuk tangan. Shalat itu tidak disukai Allah, tidak diwajibkan, dan diperintahkan oleh Allah kepada mereka”.

Di dalam Tafsir al-Thabari disebutkan, “Apakah Allah tidak akan menyiksa kaum Jahiliyah? sementara mereka menolak melaksanakan shalat di Masjid al-Haram. Mereka bukanlah kekasih-kekasih Allah. Para kekasih-Nya adalah orang-orang yang menolak ritual kaum Jahiliyah. Sesungguhnya shalat kaum Jahiliyah di Baitullah tak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan”.

Menurut sebagian perawi, sebab turunnya ayat tersebut adalah kejadian di mana kaum Quraisy melawan Rasulullah saw. saat melaksanakan Thawaf atau shalat di dalam Baitullah. Mereka menertawakan Rasul sembari bersiul-siul dan bertepuk tangan. Kemudian turunlah ayat tersebut untuk mengritik mereka. Sebagian versi lain berpendapat, ketika Rasulullah saw. melaksanakan shalat di Masjid al-Haram, ada dua lelaki dari Bani Abd al-Dar yang berdiri di sebelah kanan Rasul kemudian bertepuk tangan. Dua lelaki lainnya berdiri dan bertepuk tangan di sebelah kiri Rasul. Orang-orang tersebut mengganggu Rasul yang sedang mengerjakan shalat. Maka Allah membunuh mereka semua di medan Perang Badar

Jumat, 15 Maret 2013

Ulama Indonesia yang Mengajar di Masjidil Haram


Sebuah kebanggaan bagi muslimin Indonesia karena pernah memiliki ulama seperti Tuan Guru Abdurrahman Siddiq Al-Banjari.

Jika ulama pada umumnya belajar ke Arab Saudi, maka beliau justru ulama nusantara yang pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah. Saat kembali ke Nusantara pun, beliau menjadi soko guru yang mengenalkan tasawuf secara benar di tanah Melayu.
Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banjari, demikian nama lengkapnya. Dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahir beliau sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama "Siddiq" beliau dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Makkah. Beliau merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia. Ia tak sempat mendapat asuahan sang ibunda. Ia pun kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad. Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal. Maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan faqih beragama. Ia mendidik syaikh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syaikh makin giat menuntut ilmu agama.
Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatra Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahirn Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, beliau pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah. Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Sepulang dari Saudi, mantaplah ilmu syekh untuk berdakwah di negeri sendiri. Ia kemudian mengabdikan diri untuk berdakwah di Martapura, kemudian pindah ke Indragiri. Ia pun kemudian banyak didatangi para penuntut ilmu, tak hanya dari tanah air, namun juga dari negari tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Beliau bahkan mendirikan sebuah masjid dan madrasah di Indragiri Martapura. Madrasah yang ia buka pun kemudian menjadi tempat para penuntutu ilmu mengambil faedah dari syaikh dengan cuma-cuma. Tak ada iuran sepeser pun yang diminta dari murid-murid madrasahnya. Syekh bergantung pada hasil kebunnya untuk membiayai operasional madrasah.
Syekh Abdurrahman Siddiq, yang juga dipanggil "Tuan Guru" tersebut dikenal sebagai ulama yang amat giat dan aktif. Tak hanya sebagai sufi yang tawadhu, namun juga sastrawan yang membumikan ilmu tasawuf di tanah Melayu. Banyak syair yang telah dihasilkan Syaikh sementara dakwah terus berjalan.
Beliau meluruskan paham tasawuf dan ilmu kalam yang seringkali dipahami secara menyimpang. Pasalnya, banyak guru tasawuf yang hanya mengacu pada hal batin semata. Maka beliau pun hadir meluruskan ilmu tasawuf yang bena
Melihat kefaqihannya, banyak pemerintah setempat yang berkeinginan menjadikan beliau sebagai pemberi fatwa atau mufti. Ia pernah ditawari jabatan mufti dari sultan Kerajaan Johor, namun ia menolaknya. Saat berkunjung ke Betawi, Syekh juga diminta menjadi mufti namun lagi-lagi beliau menolaknya.
Baru setelah tawaran datang dari Kerajaan Indragiri Riau, beliau menerimanya. Itupun setelah pihak kerajaan terus menerus memohon kesediaannya. Maka diterimalah jabatan tersebut, namun dengan syarat tanpa mendapat bayaran darinya. Beliau menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri sejak tahun 1919 hingga 1939 yang berkantor di kawasan Rengat.
Selama hidupnya, Syekh banyak menghasilkan karya bermutu. Sedikitnya tercatat 20 buah karya kitab yang ia hasilkan. Tak hanya buku agama, namun ia pun menulis banyak karya sastra. Syekh memang dikenal sebagai ulama, mufti, sekaligus sebagai sastrawan dan pujangga.
Salah satu kitab beliau yang populer yakni Risalah 'Amal Ma'rifah. Diselesaikan pada tahun 1332, kitab tersebut disusun beliau karena minimnya rujukan tasawuf yang mumpuni bagi para alim ulama di masa itu. Maka kitab tasawuf itu pun lahir menjadi rujukan para penuntut ilmu, diajarkan para ulama dan guru agama di banyak majelis dan sekolah. Pada saat itu, kitab beliaulah yang relevan dalam ilmu tasawuf.
Adapun sebagai pujangga, karya sastra beliau yang terkenal terdapat dalam "Syair Ibarat Kabar Kiamat". Buku yang berisi kumpulan syair tersebut diterbitkan oleh Ahmadiyyah Press Singapura pada tahun 1915.
Dalam menulis sastra, Syekh memang beraliran religi. Karya-karya lain beliu yang populer pun terhitung banyak, diantaranya "Fath Al-Alim fi Tartib Al-Ta'lim" tentang adab menuntut ilmu, "Majmu' al Ayah wa al Hadist fi fada-il al ilmi wa al 'ulama wa al Muta'allimin wa al Mustami'in" yang terbit di Singapura, "Bai`Al-Hayawah li Al-Kafirin" berisi fikih perdagangan, dan karya lain yang sangat populer saat itu.
Namun sayangnya, sekian banyak karya syekh saat ini sulit didapat. Pasalnya, banyak karya beliau yang terbakar saat terjadi agresi militer Belanda di nusantara.
Begitu banyak kiprah yang ia lakukan dalam dakwah di nusantara, khususnya di Kalimantan dan Melayu. Seluruh usianya beliau habiskan untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu. Setelah banyak hal yang ia lakukan untuk umat, sang Tuan Guru mendapati ajalnya. Beliau meninggal di Sapat, Indragiri Hilir, pada 10 Maret 1930 di usia 72 tahun.
Meski jasadnya telah terpendam bumi, namanya masih selalu dikenang. Masjid yang ia dirikn saat ini masih tegak berdiri. Pemikirannya dan ajaran tasawufnya masih menjadi perhatian untuk dipelajari. Beliau dimakamkan di dekat masjid yang ia dirikan untuk madrasah gratis para penuntut ilmu. Hingga kini, makam beliau selalu ramai dikunjungi muslimin tak hanya etnis Banjar ataupun etnis Melayu saja, namun muslimin nusantara.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

Dasar Hukum Puji-Pujian di Masjid/Musholla

Biasanya di masjid/mushola NU sblm sholat berjamaah ada lantunan "puji-pujian". Berikut dasar hukumnya smg bermanfaat:

Dzikir dan Syair sebelum Shalat Berjama’ah

Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
t;

Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa'i [709] dan Ahmad [20928]).

Meogomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).

Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.

Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.

Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.

Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama'ah di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan deogan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-masing.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember

Mau dzikir pelan-pelan atau pakai pengeras suara monggo

Berdzikir dengan Pengeras Suara

Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.